Hiruk pikuk ‘pesta demokrasi’ yang sedang dialani para politisi negeri ini telah menyedot perhatian semua lapisan masyarakat. Pemilu legislatif 2014 sudah selesai, kini hanya menyisakan kenangan, salah satunya adalah
banyaknya para caleg gagal yang stres berat akibat kalah dalam percaturan politik sehingga harus dilarikan ke rumah sakit yang memang sudah di-siapkan sebelumnya.
Merupakan sebuah fenomena nyata di lapangan, banyak orang berbon-dong-bondong berebut jadi caleg atau capres dengan menghalalkan segala cara; ada yang dengan cara syirik dan datang ke para dukun, minta wang-sit serta melakukan ritual-ritual klenik, ada yang dengan cara money politic (politik uang), mengobral janji kosong, dan sebagainya. Semua itu karena syahwat jabatan yang mengalir di tubuh mereka.
Akibatnya, banyak lahir para pemimpin yang rajin terjerat kasus korupsi uang negara, skandal wanita, dan lain-lain, padahal dahulu’ Iyadh ibn Ghanam (gubernur Khalifah Umar a) mengatakan: “Demi Allah, seandainya aku digergaji, itu lebih aku sukai daripada aku berkhianat (KKN) meski uang seperak saja.” (Shifatush Shafwah, Ibnul Jauzi, 1/277)
Jabatan bukanlah kursi empuk yang penuh dengan kenikmatan, melainkan ia adalah kursi panas penuh amanat dan tanggung jawab di dunia dan apalagi kelak di akhirat. Di dunia, karena mengurusi orang bukanlah hal yang mudah, bahkan al-Imam asy-Syaf’i v mengatakan: “ Mengurusi manusia itu lebih sulit daripada mengurusi hewan.” Di akhirat, karena Allah akan menghisab dan meminta pertanggungjawaban kepemimpinan
kita kelak di hadapan Allah w. Sudahkah kita siap untuk itu?!!
Read more
Muhammad Yunus محمد يونس
Jumat, 24 April 2015
Senin, 26 Maret 2012
Rugi, karena Menipu Sendiri
بَلِ الإِنسَانُ عَلَىٰ نَفْسِهِ بَصِيرَةٌ ﴿١٤﴾ وَلَوْ أَلْقَىٰ مَعَاذِيرَهُ ﴿١٥﴾
“Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.” (QS. Al-Qiyamah:14-15)
Disebutkan dalam Kitab Uyunul Atsar, Imam Zuhri mengisahkan, “Bahwa suatu ketika Abu Sufyan, Abu Jahal dan Akhnas bin Syariq secara sembunyi-sembunyi mendatangi rumah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam. Masing-masing mengambil posisi untuk mendengarkan lantunan ayat-ayat Al-Qur’an yang dibaca Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam. dalam shalatnya. Mereka bertiga memiliki posisi masing-masing, yang tidak diketahui oleh yang lain. Hingga ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam. usai melaksanakan shalat, mereka bertiga memergoki satu sama lainnya di jalan. Mereka bertiga saling mencela dan membuat kesepakatan untuk tidak kembali mendatangi rumah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam.
Namun pada malam berikutnya, ternyata mereka bertiga tidak kuasa menahan gejolak jiwanya untuk mendengarkan lantunan ayat-ayat Al-Qur’an. Mereka bertiga mengira bahwa yang lainnya tidak akan datang ke rumah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam, dan mereka pun menempati posisi mereka masing-masing. Ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam. usai melaksanakan shalat, mereka pun selalu memergoki yang lainnya di jalan. Dan terjadilah saling cela sebagaimana yang terjadi sebelumnya.
Malam berikutnya, lagi-lagi mereka rindu untuk mendengarkan Al-Qur’an, dan merekapun menempati posisi sebagaimana hari sebelumnya. Dan manakala Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam usai melaksanakan shalat, mereka bertiga kembali memergoki yang lainnya. Akhirnya mereka bertiga membuat janji satu sama lain untuk tidak kembali ke rumah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam.
Begitulah, meski mereka memungkiri kenabian Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam, namun hati kecil mereka tidak bisa ditipu, bahwa Al-Qur’an itu indah, benar dan menakjubkan. Berbagai alasan, argumen dan kilah sebenarnya tidak bisa mengelabuhi perasaannya,
“Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.” (QS. Al-Qiyamah:14-15)
Rumus ini berlaku bagi siapapun yang menyelisihi kebenaran, baik yang ringan maupun yang berat. Mereka sebenarnya hanya membohongi diri sendiri tatkala lebih memilih menyelisihi daripada tunduk dan patuh terhadap kebenaran.
Sejenak kita introspeksi dan jujur terhadap diri sendiri. Tatkala diri merasa malas untuk belajar ilmu syar’i, berbagai alasan muncul untuk membela diri. Sibuk dengan pekerjaan, ada keperluan yang tak bisa ditinggalkan, kesulitan kendaraan, tidak ada tempat kajian, kurang enak badan dan seabrek alasan yang lain. Ketika itu, nurani kita bisa mengukur, apakah semua yang kita utarakan itu benar-benar menjadi udzur, hingga betul-betul tak memiliki peluang untuk menambah ilmu syar’i? Jawabanya, ”balil insaanu ’ala nafsihi bashiirah, walau alqaa ma’aadziirah,” bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.” Diri kita sendiri yang tahu akan kebenaran alasan kita, selagi jujur dengan hati nurani.
Begitupula, tatkala ada yang lama tidak menampakkan diri di masjid untuk shalat berjama’ah, berbagai argumen juga digelar agar orang lain memaklumi. Alasan tidak wajib, ada urusan penting, badan masih kotor karena belum mandi, jauh dari masjid, tidak mendengar adzan, tidak bisa khusyuk shalat di masjid dan masih banyak alasan yang lain. Apakah alasan ini dibuat-buat ataukah tidak, sebenarnya diri kita sendiri mengetahui. Diri kita menjadi saksi atas apa penyebab sesungguhnya ketidakhadiran kita ke masjid untuk berjamaah. Kita juga menjadi saksi akan kejujuran atau kedustaan lisan kita saat mengungkapkan alasan.
Sebagaimana dalam hal meninggalkan ketaatan, setiap kemaksiatan seringkali dicarikan alasan oleh pelakunya. Agar orang lain memaklumi, mengapa dia melakukan itu semua. Alasan belum tahu ilmunya, menurutnya tidak berdosa, tidak sengaja melakukannya, hanya coba-coba dan sederet alasan yang bisa dipaparkan. Tapi, kebenaran ucapannya diuji oleh hati nuraninya sendiri. Benarkah ia belum tahu ilmunya, betulkah berdasarkan ilmu yang diketahuinya itu tidak berdosa dan seterusnya. Cukuplah kita katakan kepadanya, ”balil insaanu ’ala nafsihi bashiirah, walau alqaa ma’aadziirah,” bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.”
Jika kita merenungkan hal ini, niscaya kita dapatkan perkara yang sangat mengherankan, apa gunanya alasan-alasan itu dikemukakan jika tidak sesuai kenyataan? Siapa yang rugi dengan kebohongan itu? Bukankah dirinya sendiri yang rugi? Tidakkah ini berarti membinasakan diri sendiri? Memang aneh, tapi faktanya banyak orang yang berusaha menjerumuskan diri sendiri.
Sebagaimana sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam,
كُلُّ النَّاسِ يَغْدُو فَبَائِعٌ نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا أَوْ مُوبِقُهَا
”Setiap manusia itu berusaha, maka ia mempertaruhkan jiwanya, ada yang usahanya itu menyelamatkan dirinya, ada pula yang membinasakan dirinya.” (HR Muslim)
Orang yang membohongi diri sendiri termasuk golongan orang yang usahanya untuk membinasakan diri sendiri dalam konteks ini.
Setelah hati nurani kita di dunia menjadi saksi atas setiap alasan saat taat atau maksiat, maka kelak di akhirat, seluruh anggota badan kita sendiri juga akan menjadi saksi atas seluruh apa yang kita jalani di dunia. Saat itu, benar atau tidaknya alasan yang diungkapkan lisan, akan dibuktikan dengan kesaksian seluruh anggota tubuh. Inilah makna kedua dari firman Allah, ” ”balil insaanu ’ala nafsihi bashiirah, walau alqaa ma’aadziirah,” bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.”
Ibnu Abbas ra menafsirkan ayat ini, ”makna bashirah adalah saksi. Yakni kesaksian seluruh anggota badan atas dirinya. Tentang tangannya, apa yang telah ia jamah dengan keduanya, tentang kedua kakinya, kemana ia melangkahkan keduanya, tentang matanya, apa yang telah ia lihat dengan keduanya.”
Ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala, ”
”Pada hari (ketika) lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS an-Nuur 24)
Maka jika kita sayang kepada diri sendiri, hendaknya berlaku jujur dalam menilai diri sendiri. Lalu menepis segala hal yang melemahkan kita dari ketaatan, dan memangkas jalan menuju kemaksiatan. Wallahul muwaffiq.
Read more
“Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.” (QS. Al-Qiyamah:14-15)
Disebutkan dalam Kitab Uyunul Atsar, Imam Zuhri mengisahkan, “Bahwa suatu ketika Abu Sufyan, Abu Jahal dan Akhnas bin Syariq secara sembunyi-sembunyi mendatangi rumah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam. Masing-masing mengambil posisi untuk mendengarkan lantunan ayat-ayat Al-Qur’an yang dibaca Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam. dalam shalatnya. Mereka bertiga memiliki posisi masing-masing, yang tidak diketahui oleh yang lain. Hingga ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam. usai melaksanakan shalat, mereka bertiga memergoki satu sama lainnya di jalan. Mereka bertiga saling mencela dan membuat kesepakatan untuk tidak kembali mendatangi rumah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam.
Namun pada malam berikutnya, ternyata mereka bertiga tidak kuasa menahan gejolak jiwanya untuk mendengarkan lantunan ayat-ayat Al-Qur’an. Mereka bertiga mengira bahwa yang lainnya tidak akan datang ke rumah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam, dan mereka pun menempati posisi mereka masing-masing. Ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam. usai melaksanakan shalat, mereka pun selalu memergoki yang lainnya di jalan. Dan terjadilah saling cela sebagaimana yang terjadi sebelumnya.
Malam berikutnya, lagi-lagi mereka rindu untuk mendengarkan Al-Qur’an, dan merekapun menempati posisi sebagaimana hari sebelumnya. Dan manakala Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam usai melaksanakan shalat, mereka bertiga kembali memergoki yang lainnya. Akhirnya mereka bertiga membuat janji satu sama lain untuk tidak kembali ke rumah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam.
Begitulah, meski mereka memungkiri kenabian Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam, namun hati kecil mereka tidak bisa ditipu, bahwa Al-Qur’an itu indah, benar dan menakjubkan. Berbagai alasan, argumen dan kilah sebenarnya tidak bisa mengelabuhi perasaannya,
“Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.” (QS. Al-Qiyamah:14-15)
Rumus ini berlaku bagi siapapun yang menyelisihi kebenaran, baik yang ringan maupun yang berat. Mereka sebenarnya hanya membohongi diri sendiri tatkala lebih memilih menyelisihi daripada tunduk dan patuh terhadap kebenaran.
Sejenak kita introspeksi dan jujur terhadap diri sendiri. Tatkala diri merasa malas untuk belajar ilmu syar’i, berbagai alasan muncul untuk membela diri. Sibuk dengan pekerjaan, ada keperluan yang tak bisa ditinggalkan, kesulitan kendaraan, tidak ada tempat kajian, kurang enak badan dan seabrek alasan yang lain. Ketika itu, nurani kita bisa mengukur, apakah semua yang kita utarakan itu benar-benar menjadi udzur, hingga betul-betul tak memiliki peluang untuk menambah ilmu syar’i? Jawabanya, ”balil insaanu ’ala nafsihi bashiirah, walau alqaa ma’aadziirah,” bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.” Diri kita sendiri yang tahu akan kebenaran alasan kita, selagi jujur dengan hati nurani.
Begitupula, tatkala ada yang lama tidak menampakkan diri di masjid untuk shalat berjama’ah, berbagai argumen juga digelar agar orang lain memaklumi. Alasan tidak wajib, ada urusan penting, badan masih kotor karena belum mandi, jauh dari masjid, tidak mendengar adzan, tidak bisa khusyuk shalat di masjid dan masih banyak alasan yang lain. Apakah alasan ini dibuat-buat ataukah tidak, sebenarnya diri kita sendiri mengetahui. Diri kita menjadi saksi atas apa penyebab sesungguhnya ketidakhadiran kita ke masjid untuk berjamaah. Kita juga menjadi saksi akan kejujuran atau kedustaan lisan kita saat mengungkapkan alasan.
Sebagaimana dalam hal meninggalkan ketaatan, setiap kemaksiatan seringkali dicarikan alasan oleh pelakunya. Agar orang lain memaklumi, mengapa dia melakukan itu semua. Alasan belum tahu ilmunya, menurutnya tidak berdosa, tidak sengaja melakukannya, hanya coba-coba dan sederet alasan yang bisa dipaparkan. Tapi, kebenaran ucapannya diuji oleh hati nuraninya sendiri. Benarkah ia belum tahu ilmunya, betulkah berdasarkan ilmu yang diketahuinya itu tidak berdosa dan seterusnya. Cukuplah kita katakan kepadanya, ”balil insaanu ’ala nafsihi bashiirah, walau alqaa ma’aadziirah,” bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.”
Jika kita merenungkan hal ini, niscaya kita dapatkan perkara yang sangat mengherankan, apa gunanya alasan-alasan itu dikemukakan jika tidak sesuai kenyataan? Siapa yang rugi dengan kebohongan itu? Bukankah dirinya sendiri yang rugi? Tidakkah ini berarti membinasakan diri sendiri? Memang aneh, tapi faktanya banyak orang yang berusaha menjerumuskan diri sendiri.
Sebagaimana sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam,
كُلُّ النَّاسِ يَغْدُو فَبَائِعٌ نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا أَوْ مُوبِقُهَا
”Setiap manusia itu berusaha, maka ia mempertaruhkan jiwanya, ada yang usahanya itu menyelamatkan dirinya, ada pula yang membinasakan dirinya.” (HR Muslim)
Orang yang membohongi diri sendiri termasuk golongan orang yang usahanya untuk membinasakan diri sendiri dalam konteks ini.
Setelah hati nurani kita di dunia menjadi saksi atas setiap alasan saat taat atau maksiat, maka kelak di akhirat, seluruh anggota badan kita sendiri juga akan menjadi saksi atas seluruh apa yang kita jalani di dunia. Saat itu, benar atau tidaknya alasan yang diungkapkan lisan, akan dibuktikan dengan kesaksian seluruh anggota tubuh. Inilah makna kedua dari firman Allah, ” ”balil insaanu ’ala nafsihi bashiirah, walau alqaa ma’aadziirah,” bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.”
Ibnu Abbas ra menafsirkan ayat ini, ”makna bashirah adalah saksi. Yakni kesaksian seluruh anggota badan atas dirinya. Tentang tangannya, apa yang telah ia jamah dengan keduanya, tentang kedua kakinya, kemana ia melangkahkan keduanya, tentang matanya, apa yang telah ia lihat dengan keduanya.”
Ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala, ”
”Pada hari (ketika) lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS an-Nuur 24)
Maka jika kita sayang kepada diri sendiri, hendaknya berlaku jujur dalam menilai diri sendiri. Lalu menepis segala hal yang melemahkan kita dari ketaatan, dan memangkas jalan menuju kemaksiatan. Wallahul muwaffiq.
Label:
Fiqh dan Muamalah
Nasab tak Menjamin Nasib
فَإِذَا نُفِخَ فِي الصُّورِ فَلآ أَنسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلاَيَتَسَآءَلُونَ
“Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya.” (QS. Al Mukminun:101)
Di hari kiamat nanti, keturunan bukan merupakan faktor yang bisa menentukan nasib seseorang. Bahwa anak dari orang shalih pasti akan selamat, dan anaknya penjahat pasti mendapat laknat. Di akhirat selamat atau tidak, yang paling berpengaruh adalah rahmat Allah, kemudian amal perbuatan manusia masing-masing. Meskipun anak dari seorang manusia yang mulia, tapi dirinya termasuk golongan yang layak mendapat siksa, status keturunan ini tidak akan berguna. Atau sebaliknya, seburuk apapun kedua orangtua, jika dirinya sendiri memang layak untuk selamat, buruknya nasab sedikitpun tidak akan membahayakannya.
Orang bilang iman itu tak dapat diwarisi, demikian pula kehormatan diri apatah lagi keselamatan di akhirat nanti. Tak hanya di hari kiamat dan di hadapan Allah, bahkan di dunia dan dimata manusiapun semua itu berlaku. Keturunan orang terhormat tapi bejat, di mata manusia tetap akan dipandang rendah sebagai manusia yang tak bermartabat. Kalaupun ada yang memaksakan diri menghormati, hal itu pasti dilakukan dengan menipu nurani. Sebaliknya, meskipun keturunan penjahat tapi dengan hidayah Allah menjadi mukmin yang shalih dan taat, orang pasti akan menaruh segala hormat.
Bahkan ini juga berlaku bagi keturunan Nabi sekalipun. Memang benar, ahlul bait memiliki keutaman. Tapi keutamaan sebagai ahlul bait didapatkan bukan karena faktor kekerabatan dan keturunan, tapi karena iman dan ketaatan. Jika dua hal itu ada, maka status sebagai ahlul bait menjadikan kemuliaan itu semakin sempurna.
Hal ini disadari betul oleh salah seorang keturunan Nabi SAW, Ali Zainal Abidin. Suatu ketika Thawus bin Kisan melihat Ali Zainal Abidin sedang meratap penuh gelisah dihadapan Ka’bah. Seakan-akan dia sedang berada di ambang kehancuran. Terdengar tangisnya yang tersedu-sedu, diiringi doa memohon perlindungan kepada Allah. Thawus berhenti. Setelah tangis mereda, Thawus mendekat dan berkata, “Wahai cucu Rasulullah, Aku melihat anda meratap sedih, padahal anda memiliki tiga keutamaan yang dapat membuat anda merasa aman.”
Ali bertanya, “ Apa tiga keutamaan itu?”
Thawus menjawab, “Pertama anda cucu Rasulullah. Kedua, anda bisa mendapatkan syafaat dari kakek anda. Ketiga, anda akan mendapat rahmat Allah.”
Ali Zainal Abidin menjawab, “Wahai Thawus! Sekalipun aku keturunan Rasulullah, namun keturunan itu tidak menjadikan diriku aman dari rasa takut akan siksa Allah. Itu setelah aku membaca firman-Nya,
“Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya.” (QS. Al Mukminun:101)
Adapun tentang syafaat kakekku kepadaku, sesungguhnya Allah telah menegaskan dalam firman-Nya;
وَلاَيَشْفَعُونَ إِلاَّ لِمَنِ ارْتَضَى وَهُم مِّنْ خَشْيَتِهِ مُشْفِقُونَ
“…dan mereka tidak memberi syafaat melainkan kepada orang-orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya.(QS. Al Anbiya 28)
Dan mengenai rahmat Allah itu, Allah akan memberikannya kepada orang yang selalu berbuat kebaikan sebagaimana firman-Nya;
إِنَّ رَحْمَتَ اللهِ قَرِيبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِينَ
“…Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al A’raf:56)
Meski sebagai keturunan Rasulullah, beliau tidak berani berangkuh diri untuk merasa aman dan pasti selamat. Walaupun melihat keimanan dan ketakwaan yang beliau miliki, dengan ijin Allah, tiga hal itu sepertinya memang layak beliau dapatkan. Namun begitu, beliau menegaskan bahwa keturunan itu tidak akan banyak membantu jika tidak didahului dengan keimanan, lalu disertai ketakwaaan dan amal shalih.
Rasulullah sendiri pernah mewanti-wanti anaknya juga kerabatnya. Dalam Sebuah hadits disebutkan, dari Abu Hurairah beliau berkata,
قَامَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – حِينَ أَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ( وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الأَقْرَبِينَ ) قَالَ « يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ – أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا – اشْتَرُوا أَنْفُسَكُمْ ، لاَ أُغْنِى عَنْكُمْ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا ، يَا بَنِى عَبْدِ مَنَافٍ لاَ أُغْنِى عَنْكُمْ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا ، يَا عَبَّاسُ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ لاَ أُغْنِى عَنْكَ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا ، وَيَا صَفِيَّةُ عَمَّةَ رَسُولِ اللَّهِ لاَ أُغْنِى عَنْكِ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا ، وَيَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَلِينِى مَا شِئْتِ مِنْ مَالِى لاَ أُغْنِى عَنْكِ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا
“Tatkala Allah menurunkan ayat “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat!”, (QS. Asy Syuara’:214), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berdiri dan berseru, “Wahai kaum Quraisy – atau perkataan yang mirip ini-, selamatkanlah jiwa kalian! sesungguhnya aku tidak bisa menolong kalian dari ancaman Allah. Wahai bani Abdu Manaf, aku sama sekali tidak bisa menolong kalian dari ancaman Allah. Wahai Abbas bin Abdilmutthalib, aku tidak bisa menolongmu dari ancaman Allah. Wahai Sofiyah bibinya Rasululllah, aku sama sekali tidak bisa menolongmu dari ancaman Allah. Wahai Fatimah putri Muhammad, mintalah kepadaku apa yang engkau kehendaki dari hartaku, aku sama sekali tidak bisa menolongmu dari ancaman Allah.” (HR. Al-Bukhari no 4771).
Ulama menjelaskan, hadits in menegaskan bahwa para kerabat dari orang-orang yang shalih jangan terlena dengan kedekatan hubungan mereka dengannya. Sebab orang shalih itu menjadi mulia karena keshalihannya sendiri, bukan karena tali kekerabatan. (Kasyful Musykil ‘an Hadits Shahihain I/897). Hadits ini juga tidak menafikan adanya syafaat dari nabi SAW. Nabi SAW akan tetap diberi wewenang memberi syafaat kepada umatnya. Namun begitu, pada hakikatnya syafaat itu juga dari Allah, orang yang berhak mendapat syafaat juga orang yang diijinkan oleh Allah untuk mendapatkannya.
Jadi sekali lagi, nasib masing-masing orang tergantung pada rahmat Allah dan kualitas diri. Jangan merasa bangga meski menjadi keturunan orang mulia, jika ternyata iman di dada belum seberapa. Tetap berusaha berlaku lurus dan memohon hidayah-Nya, niscaya keturunan itu akan membuat diri semakin mulia. Tak perlu pula merasa risau meski menjadi keturunan pendurhaka, jika iman dan takwa bisa tumbuh dan bertambah hingga menemui Yang Maha kuasa. Mengapa? karena nasab tak menjamin nasib. Wallahua’lam.
Read more
“Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya.” (QS. Al Mukminun:101)
Di hari kiamat nanti, keturunan bukan merupakan faktor yang bisa menentukan nasib seseorang. Bahwa anak dari orang shalih pasti akan selamat, dan anaknya penjahat pasti mendapat laknat. Di akhirat selamat atau tidak, yang paling berpengaruh adalah rahmat Allah, kemudian amal perbuatan manusia masing-masing. Meskipun anak dari seorang manusia yang mulia, tapi dirinya termasuk golongan yang layak mendapat siksa, status keturunan ini tidak akan berguna. Atau sebaliknya, seburuk apapun kedua orangtua, jika dirinya sendiri memang layak untuk selamat, buruknya nasab sedikitpun tidak akan membahayakannya.
Orang bilang iman itu tak dapat diwarisi, demikian pula kehormatan diri apatah lagi keselamatan di akhirat nanti. Tak hanya di hari kiamat dan di hadapan Allah, bahkan di dunia dan dimata manusiapun semua itu berlaku. Keturunan orang terhormat tapi bejat, di mata manusia tetap akan dipandang rendah sebagai manusia yang tak bermartabat. Kalaupun ada yang memaksakan diri menghormati, hal itu pasti dilakukan dengan menipu nurani. Sebaliknya, meskipun keturunan penjahat tapi dengan hidayah Allah menjadi mukmin yang shalih dan taat, orang pasti akan menaruh segala hormat.
Bahkan ini juga berlaku bagi keturunan Nabi sekalipun. Memang benar, ahlul bait memiliki keutaman. Tapi keutamaan sebagai ahlul bait didapatkan bukan karena faktor kekerabatan dan keturunan, tapi karena iman dan ketaatan. Jika dua hal itu ada, maka status sebagai ahlul bait menjadikan kemuliaan itu semakin sempurna.
Hal ini disadari betul oleh salah seorang keturunan Nabi SAW, Ali Zainal Abidin. Suatu ketika Thawus bin Kisan melihat Ali Zainal Abidin sedang meratap penuh gelisah dihadapan Ka’bah. Seakan-akan dia sedang berada di ambang kehancuran. Terdengar tangisnya yang tersedu-sedu, diiringi doa memohon perlindungan kepada Allah. Thawus berhenti. Setelah tangis mereda, Thawus mendekat dan berkata, “Wahai cucu Rasulullah, Aku melihat anda meratap sedih, padahal anda memiliki tiga keutamaan yang dapat membuat anda merasa aman.”
Ali bertanya, “ Apa tiga keutamaan itu?”
Thawus menjawab, “Pertama anda cucu Rasulullah. Kedua, anda bisa mendapatkan syafaat dari kakek anda. Ketiga, anda akan mendapat rahmat Allah.”
Ali Zainal Abidin menjawab, “Wahai Thawus! Sekalipun aku keturunan Rasulullah, namun keturunan itu tidak menjadikan diriku aman dari rasa takut akan siksa Allah. Itu setelah aku membaca firman-Nya,
“Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya.” (QS. Al Mukminun:101)
Adapun tentang syafaat kakekku kepadaku, sesungguhnya Allah telah menegaskan dalam firman-Nya;
وَلاَيَشْفَعُونَ إِلاَّ لِمَنِ ارْتَضَى وَهُم مِّنْ خَشْيَتِهِ مُشْفِقُونَ
“…dan mereka tidak memberi syafaat melainkan kepada orang-orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya.(QS. Al Anbiya 28)
Dan mengenai rahmat Allah itu, Allah akan memberikannya kepada orang yang selalu berbuat kebaikan sebagaimana firman-Nya;
إِنَّ رَحْمَتَ اللهِ قَرِيبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِينَ
“…Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al A’raf:56)
Meski sebagai keturunan Rasulullah, beliau tidak berani berangkuh diri untuk merasa aman dan pasti selamat. Walaupun melihat keimanan dan ketakwaan yang beliau miliki, dengan ijin Allah, tiga hal itu sepertinya memang layak beliau dapatkan. Namun begitu, beliau menegaskan bahwa keturunan itu tidak akan banyak membantu jika tidak didahului dengan keimanan, lalu disertai ketakwaaan dan amal shalih.
Rasulullah sendiri pernah mewanti-wanti anaknya juga kerabatnya. Dalam Sebuah hadits disebutkan, dari Abu Hurairah beliau berkata,
قَامَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – حِينَ أَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ( وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الأَقْرَبِينَ ) قَالَ « يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ – أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا – اشْتَرُوا أَنْفُسَكُمْ ، لاَ أُغْنِى عَنْكُمْ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا ، يَا بَنِى عَبْدِ مَنَافٍ لاَ أُغْنِى عَنْكُمْ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا ، يَا عَبَّاسُ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ لاَ أُغْنِى عَنْكَ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا ، وَيَا صَفِيَّةُ عَمَّةَ رَسُولِ اللَّهِ لاَ أُغْنِى عَنْكِ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا ، وَيَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَلِينِى مَا شِئْتِ مِنْ مَالِى لاَ أُغْنِى عَنْكِ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا
“Tatkala Allah menurunkan ayat “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat!”, (QS. Asy Syuara’:214), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berdiri dan berseru, “Wahai kaum Quraisy – atau perkataan yang mirip ini-, selamatkanlah jiwa kalian! sesungguhnya aku tidak bisa menolong kalian dari ancaman Allah. Wahai bani Abdu Manaf, aku sama sekali tidak bisa menolong kalian dari ancaman Allah. Wahai Abbas bin Abdilmutthalib, aku tidak bisa menolongmu dari ancaman Allah. Wahai Sofiyah bibinya Rasululllah, aku sama sekali tidak bisa menolongmu dari ancaman Allah. Wahai Fatimah putri Muhammad, mintalah kepadaku apa yang engkau kehendaki dari hartaku, aku sama sekali tidak bisa menolongmu dari ancaman Allah.” (HR. Al-Bukhari no 4771).
Ulama menjelaskan, hadits in menegaskan bahwa para kerabat dari orang-orang yang shalih jangan terlena dengan kedekatan hubungan mereka dengannya. Sebab orang shalih itu menjadi mulia karena keshalihannya sendiri, bukan karena tali kekerabatan. (Kasyful Musykil ‘an Hadits Shahihain I/897). Hadits ini juga tidak menafikan adanya syafaat dari nabi SAW. Nabi SAW akan tetap diberi wewenang memberi syafaat kepada umatnya. Namun begitu, pada hakikatnya syafaat itu juga dari Allah, orang yang berhak mendapat syafaat juga orang yang diijinkan oleh Allah untuk mendapatkannya.
Jadi sekali lagi, nasib masing-masing orang tergantung pada rahmat Allah dan kualitas diri. Jangan merasa bangga meski menjadi keturunan orang mulia, jika ternyata iman di dada belum seberapa. Tetap berusaha berlaku lurus dan memohon hidayah-Nya, niscaya keturunan itu akan membuat diri semakin mulia. Tak perlu pula merasa risau meski menjadi keturunan pendurhaka, jika iman dan takwa bisa tumbuh dan bertambah hingga menemui Yang Maha kuasa. Mengapa? karena nasab tak menjamin nasib. Wallahua’lam.
Senin, 19 Maret 2012
Aqidah Imam Syafi’i
Alangkah besarnya jasa mereka terhadap manusia, tetapi alangkah jeleknya balasan manusia kepada mereka! Mereka menepis segala penyelewengan orang-orang yang berlebih-lebihan, kedustaan pembela kebatilan, dan penafsiran orang-orang jahil yang kebingungan — yang melepaskan tali fitnah dan mengibarkan bendera kebid’ahan, mereka berselisih dalam al-Qur‘an, menyelisihi kandungan al-Qur‘an, dan bersatu untuk meninggalkan al-Qur‘an, mereka berkata tentang Alloh dan kitab-Nya tanpa dasar ilmu, menyebarkan syubhat untuk menipu manusia yang dungu. Kita berlindung kepada Alloh dari fitnah yang menyesatkan.[1]
Di antara deretan para ulama tersebut—insya Alloh—adalah Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i rahimahullah, yang namanya tidak asing lagi bagi kita semua. Alloh telah mengangkat derajat beliau dan mengharumkan nama beliau sampai detik ini.
Imam Syafi’i rahimahullah termasuk ulama pembaharu agama yang menyeru manusia untuk kembali kepada al-Qur‘an dan Sunnah serta meninggalkan ilmu kalam. Oleh karenanya, dalam setiap karya beliau bertaburan ayat-ayat dan hadits-hadits dengan ditunjang oleh dalil-dalil akal dan bantahan terhadap setiap yang menyelisihinya.
Nah, termasuk nikmat Alloh kepada penulis pada saat ini adalah menyumbangkan salah satu tulisan sederhana tentang ilmu Imam Syafi’i rahimahullah yang kita berdo’a kepada Alloh agar menjadikan tulisan ini ikhlas karena mengharapkan pahala Alloh dan bermanfaat bagi semua.
Pentingnya Pembahasan
Ada beberapa faktor yang mendorong hati kami untuk menulis pembahasan ini, minimal ada empat alasan penting:- Imam Syafi’i adalah seorang imam madzhab empat yang pendapat-pendapatnya menjadi pedoman banyak umat Islam, di antaranya adalah negeri kita Indonesia ini yang mayoritas penduduknya bermadzhab Syafi’i. Maka menjelaskan landasan-landasan agama Imam Syafi’i sangatlah penting sekali agar mereka mengetahuinya dan mencontohnya.
- Meluruskan klaim kebanyakan orang yang menisbatkan dirinya kepada madzhab Syafi’i dalam fiqih, tetapi dalam aqidah berpaham Asy’ari, karena ini termasuk kontradiksi yang amat nyata, sebab Imam Syafi’i tidaklah berpaham Asy’ariyyah, bahkan beliau adalah seorang salafi yang mengikuti dalil, baik dalam masalah aqidah dan lainnya.
- Banyak orang menganggap bahwa manhaj salaf hanyalah dicetuskan oleh Ibnu Taimiyyah, Muhammad bin Abdul Wahhab, atau al-Albani dan Ibnu Baz. Maka penjelasan ini membantah dugaan tersebut karena semua imam panutan umat—termasuk Imam Syafi’i—mereka satu aqidah dan manhaj.
- Membantu saudara-saudara kami para da’i dan para penuntut ilmu ketika berdakwah di masyarakat hendaknya sering menukil ucapan Imam Syafi’i kepada mereka, sebab termasuk cara hikmah dalam berdakwah adalah mengutip perkataan ulama Ahli Sunnah yang dikenal baik di masyarakat luas, serta menghindari penyebutan nama ulama tertentu yang mereka fobia dengan nama-nama tersebut.[2] Maka dengan terkumpulnya ucapan-ucapan Imam Syafi’i dalam tulisan semacam ini, diharapkan dapat memudahkan saudara-saudara kami menerapkan metode hikmah ini.
Sumber Aqidah Menurut Imam Syafi’i
Sesungguhnya pedoman hukum dalam beragama adalah al-Qur‘an, hadits shohih, dan ijma’. Tentang hujjahnya al-Qur‘an dan hadits, Alloh berfirman:Imam Abdul Aziz al-Kinani rahimahullah berkata,يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَـٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍۢ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌۭ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا ﴿٥٩﴾
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Alloh dan taatilah Rosul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Alloh (al-Qur‘an) dan Rosul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Alloh dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. an-Nisa’ [4]: 59)
“Tidak ada perselisihan di kalangan orang yang beriman dan berilmu bahwa maksud mengembalikan kepada Alloh adalah kepada kitab-Nya dan maksud mengembalikan kepada Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau wafat adalah kepada sunnah beliau. Tidak ada yang meragukan hal ini kecuali orang-orang yang menyimpang dan tersesat. Penafsiran seperti yang kami sebutkan tadi telah dinukil dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dan sejumlah para imam yang berilmu. Semoga Alloh merahmati mereka semua.” [3]Adapun dalil bahwa ijma’ (kesepakatan ulama) merupakan hujjah adalah firman Alloh[4]:
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ ٱلْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِۦ جَهَنَّمَ ۖ وَسَآءَتْ مَصِيرًا ﴿١١٥﴾
Dan barang siapa yang menentang Rosul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. an-Nisa’ [4]: 115)
Dan inilah yang dijadikan landasan oleh Imam Syafi’i rahimahullah juga sebagaimana beliau tegaskan dalam banyak ucapannya, di antaranya adalah sebagai berikut:لَا يَجْمَعُ اللّٰهَ أُمَّتِيْ عَلَى ضَلَالَةٍ أَبَدًا
“Sesungguhnya Alloh tidak akan menjadikan umatku bersepakat dalam kesesatan.” [5]
Imam Syafi’i rahimahullah berkata:
وَلَمْ يَجْعَلِ اللّٰهُ لِأَحَدٍ بَعْدَ رَسُوْلِ اللّٰهِ أَنْ يَقُوْلَ إِلَّا مِنْ جِهَةِ عِلْمٍ مَضَى قَبْلَهُ وَجِهَةُ الْعِلْمِ بَعْدُ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَالإِجْمَاعُ وَالآثَارُ وَمَا وَصَفْتُ مِنَ الْقِيَاسِ عَلَيْهَاImam Syafi’i rahimahullah berkata:
“Alloh tidak memberikan kesempatan bagi seorang pun selain Rosululloh n\ untuk berbicara soal agama kecuali berdasarkan ilmu yang telah ada sebelumnya, yaitu Kitab, Sunnah, ijma’, atsar sahabat, dan qiyas (analogi) yang telah kujelaskan maksudnya.” [6]
Imam Syafi’i rahimahullah berkata:كُلُّ مُتَكَلِّمٍ عَلَى الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ فَهُوَ الْجِدُّ، وَمَا سِوَاهُمَا فَهُوَ هَذَيَانُ
“Setiap orang yang berbicara berdasarkan al-Qur‘an dan Sunnah maka dia sungguh-sungguh. Adapun selain keduanya maka dia mengigau.” [7]
فَقَدْ جَعَلَ اللّٰهُ الْحَقَّ فِيْ كِتَابِهِ، ثُمَّ سُنَّةِ نَبِيِّهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَّ
“Sungguh Alloh menjadikan al-haq (kebenaran) berada di dalam al-Kitab dan Sunnah Nabi-Nya.” [8]
Imam Syafi’i Mendahulukan Dalil Daripada Akal
Termasuk pokok-pokok Ahli Sunnah wal Jama’ah adalah bahwa akal bukanlah pedoman untuk menetapkan hukum dan aqidah. Namun, patokannya adalah dalil yang bersumber dari al-Qur‘an dan Sunnah. Adapun akal hanyalah alat untuk memahami.Maka amatlah salah jika manusia menjadikan akal sebagai hakim terhadap dalil al-Qur‘an dan hadits sebagaimana dilakukan oleh sebagian kalangan, karena akal manusia terbatas. Inilah yang ditegaskan oleh Imam Syafi’i rahimahullah tatkala berkata:
إِنَّ لِلْعَقْلِ حَدًّا يَنْتَهِيْ إِلَيْهِ كَمَا أَنَّ لِلْبَصَرِ حَدًّا يَنْتَهِيْ إِلَيْهِ
“Sesungguhnya akal itu memiliki batas sebagaimana pandangan mata juga memiliki batas.” [9]
Imam Syafi’i dan Ilmu Kalam/Filsafat
Disebut ilmu kalam karena ilmu ini hanyalah dibangun di atas ucapan, pendapat, dan logika semata, tanpa dibangun di atas dalil al-Qur‘an dan Sunnah yang shohih. Ilmu kalam sangat banyak dipengaruhi oleh ilmu manthiq dan filsafat Yunani yang muncul berabad-abad sebelum datangnya Islam.Islam tidak membutuhkan ilmu ini sama sekali karena ilmu ini hanyalah berisi kejahilan, kebingungan, kesesatan, dan penyimpangan.[10] Oleh karena itu, para ulama telah mengingatkan kepada kita agar waspada dan menjauhi ilmu ini sejauh-jauhnya.[11] Di antara deretan para ulama tersebut adalah Imam Syafi’i.[12]
Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata: “Telah mutawatir dari Imam Syafi’i bahwa beliau mencela ilmu kalam dan ahli kalam. Beliau adalah seorang yang semangat dalam mengikuti atsar (sunnah) baik dalam masalah aqidah atau hukum fiqih.” [13]
Ucapan Imam Syafi’i begitu banyak, di antaranya:
Imam as-Sam’ani rahimahullah berkata — setelah membawakan ucapan-ucapan seperti di atas: “Inilah ucapan Imam Syafi’i tentang celaan ilmu kalam dan anjuran untuk mengikuti Sunnah. Dialah imam yang tidak diperdebatkan dan tidak terkalahkan.” [16]الْعِلْمُ بِالْكَلَامِ جَهْلٌ
“Mempelajari ilmu kalam adalah kejahilan (kebodohan).” [14]
حُكْمِيْ فِيْ أَهْلِ الْكَلاَمِ أَنْ يُضْرَبُوْا بِالْجَرِيْدِ، وَيُحْمَلُوْا عَلَى الإِبِلْ، وَيُطَافُ بِهِمْ فِي الْعَشَائِرِ، يُنَادَى عَلَيْهِمْ: هٰذَا جَزَاءُ مَنْ تَرَكَ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ وَأَقْبَلَ عَلَى الْكَلَامِ
“Hukumanku bagi ahli kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, dan dinaikkan di atas unta, kemudian diarak keliling kampung seraya dikatakan pada khayalak: ‘Inilah hukuman bagi orang yang berpaling dari al-Qur‘an dan Sunnah lalu menuju ilmu kalam/filsafat.’ ” [15]
[1] Ar-Rodd ’ala al-Jahmiyyah wa Zanadiqoh hlm. 85 oleh Imam Ahmad bin Hanbal, tahqiq Dr. Abdurrohman ’Umairoh.
[2] Lihat al-Hatstsu ’ala al-Mawaddah wal I’tilaf hlm. 21–23 oleh Syaikh Robi’ bin Hadi al-Madkholi dan 14 Contoh Praktek Hikmah Dalam Berdakwah hlm. 56 oleh akhuna al-Ustadz Abdullah Zaen, M.A.
[3] Al-Haidah wal I’tidzarr fir Roddi ’ala Man Qola Bikholqil Qur‘an hlm. 32, tahqiq Dr. Ali al-Faqihi
[4] Ayat ini dijadikan dalil oleh Imam Syafi’i tentang hujjahnya ijma’ ulama, sebagaimana dalam kisah yang panjang. (Lihat Manaqib Imam Syafi’i hlm. 83 al-Aburri, Thobaqot Syafi’iyyah 2/243 Ibnu Subki, Siyar A’lam Nubala‘ 3/3295 adz-Dzahabi)
[5] HR. al-Hakim dalam al-Mustadrok 1/116, al-Baihaqi dalam Asma‘ wa Shifat: 702. Hadits ini memiliki penguat yang banyak. Al-Hafizh as-Sakhowi rahimahullah berkata dalam al-Maqoshidul Hasanah hlm. 460: “Kesimpulannya, hadits ini masyhur matan-nya, memiliki sanad yang banyak, dan penguat yang banyak juga.” Syaikh al-Albani juga menshohihkan dalam ash-Shohihah: 1331 dan Shohihul Jami’: 1848
[6] Ar-Risalah hlm. 508
[7] Tawali Ta‘sis hlm. 110 Ibnu Hajar
[8] Al-Umm 7/493
[9] Adab Syafi’i hlm. 271 Ibnu Abi Hatim, Tawali Ta‘sis hlm. 134 Ibnu Hajar.
[10] Lihat tulisan al-Ustadz Armen Halim Naro “Filsafat Islam Konspirasi Keji” yang dimuat dalam Majalah Al Furqon Edisi 2 Tahun 6 rubrik Aqidah.
[11] Al-Hafizh as-Suyuthi menyebutkan tiga alasan di balik larangan ulama salaf terhadap mempelajari ilmu kalam: Pertama: Ilmu kalam merupakan faktor penyebab kebid’ahan. Kedua: Ilmu ini tidak pernah diajarkan oleh al-Qur‘an dan hadits serta ulama salaf. Ketiga: Merupakan sebab meninggalkan al-Qur‘an dan Sunnah. (Lihat Shonul Manthiq hlm. 15–33)
[12] Lihat peringatan para ulama tentang ilmu kalam dan ahli kalam secara panjang dalam kitab Dzammul Kalam wa Ahlihi oleh Imam al-Harowi dan Shounul Manthiq oleh al-Hafizh as-Suyuthi.
[13] Mukhtashor al-Uluw hlm. 177
[14] Hilyatul Auliya‘ 9/111
[15] Manaqib Syafi’i 1/462 al-Baihaqi, Tawali Ta‘sis hlm. 111 Ibnu Hajar, Syarof Ashhabil Hadits hlm. 143 al-Khothib al-Baghdadi. Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata dalam Siyar A’lam Nubala‘ 3/3283: “Ucapan ini mungkin mutawatir dari Imam Syafi’i.”
[16] Al-Intishor li Ashhabil Hadits hlm. 8
Label:
aqidah
Sabtu, 17 Maret 2012
Perhiasan yang dilarang bagi wanita

Tidak kita ragukan, senang dan cinta terhadap keindahan dan kebersihan merupakan tabiat setiap manusia yang berjiwa sehat. Setiap orang ingin jika dirinya tampil bersih dan indah.
Terlebih lagi jika niatnya adalah untuk ibadah, tidak berlebihan dan tidak menerjang keharaman Allah dalam perhiasan . Bagi kaum wanita ada beberapa jenis perhiasan yang tidak boleh dipakai. Cermati ulasannya berikut ini.
WANITA BERHIAS DALAM PANDANGAN ISLAM
Ketahuilah wahai saudariku wanita muslimah, Islam tidak mencela jika wanita senang untuk berhias dan perhiasan. Bahkan hal itu merupakan perkara yang dianjurkan dalam agama. Islam menyifati istri yang shalihah dengan sifat:
َ
“Sebaik-baik wanita adalah yang menyenangkanmu jika kamu melihatnya”
ini adalah bukti yang sangat gamblang bahwa wanita dianjurkan untuk selalu tampil bersih, indah dan berhias.
Walaupun demikian, Islam tidak membiarkan begitu saja wanita berhias tanpa aturan dan rambu-rambu. Akan tetapi, ada patokan dan hukum-hukum perhiasan yang harus diperhatikan oleh segenap wanita muslimah. Di antara patokan yang harus diperhatikan adalah tidak boleh memakai perhiasan yang dilarang dalam agama ini.
PERHIASAN YANG TERLARANG BAGI KAUM WANITA
Jenis perhiasan apa saja yang dilarang bagi kaum wanita? Di antaranya:
A. Mengikir gigi
Maksud mengikir gigi adalah menjarangkan antara gigi seri dan gigi taring. Tujuannya adalah agar tampak lebih muda dan giginya bagus. Perkara ini dilarang karena termasuk mengubah ciptaan Allah dan mengandung penipuan dan pemalsuan. Rasulullah bersabda:
ِ“Allah wanita yang menato dan yang minta ditato, wanita yang mencukur bulu alis dan yang minta dicukurkan, dan wanita yang mengikir giginya untuk kecantikan. Wanita yang mengubah ciptaan Allah.”
Imam an Nawawi mengatakan, “Perbuatan-perbuatan yang disebutkan dalam hadits ini menunjukkan haramnya perkara tersebut baik orang yang mengerjakan atau orang yang meminta. Karena perbuatan tersebut termasuk mengubah ciptaan Allah dan mengandung penipuan dan pemalsuan.”
Akan tetapi, mengikir gigi dibolehkan jika maksudnya adalah pengobatan atau terdapat cacat pada giginya. Dasarnya adalah hadits Arfajah bin As’ad bahwa dia pernah terpotong hidungnya pada hari Kulab. Kemudian dia mengambil hidung buatan dari perak. Ternyata hidungnya malah rusak. Maka Rasulullah menyarankan agar mengambil hidung buatan dari emas.
Menambal gigi dengan emas?
Menambal gigi dengan emas diperbolehkan jika untuk pengobatan, bukan untuk berhias dan kecantikan.
Imam Ibnu Qudamah mengatakan, “Imam Ahmad berkata, ‘Menambal gigi dengan emas karena khawatir giginya lepas biasa dilakukan oleh banyak orang. Hal itu diperbolehkan jika dalam keadaan darurat.’”
B. Perhiasan kuku
1. Memakai kuteks
Kita dapati sebagian wanita muslimah meniru kebiasaan wanita non muslim yang mengecat kukukuku mereka dengan kuteks (cat/pewarna kuku). Wanita yang memakai kuteks terkena dua musibah yang tidak bisa dianggap ringan:
Pertama: Menghalangi sampainya air wudhu ke kuku
kedua: Terkadang mereka menampakkannya kepada laki-laki yang bukan mahram.
2. Menyambung kuku
Maksudnya adalah menyambung kuku dengan kuku buatan yang lebih panjang dan lebih bagus daripada kuku aslinya. Tidak ragu lagi, ini adalah kebiasaan wanita kafir yang harus dijauhi oleh segenap wanita muslimah. Janganlah engkau wahai ukhti muslimah terbius dengan tingkah polah wanita kafir yang hanya mengajakmu ke dalam jalan kesesatan.
Allah berfirman tentang ucapan Iblis:
ِDan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya. Barang siapa yang menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya iamenderita kerugian yang nyata. (QS. anNisâ' [4]: 119)
3. Memanjangkan kuku
Memanjangkan kuku menyelisihi sunnah, karena Nabi bersabda:
ُ“Lima perkara termasuk fitrah: khitan, membersihkan bulu rambut di sekitar kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku, dan mencukur kumis.”
Lima perkara di atas tidak boleh dibiarkan melebihi 40 hari karena Sahabat Anas berkata, “Rasulullah memberi waktu kepada kami dalam mencukur kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan mencukur bulu kemaluan, tidak boleh dibiarkan melebihi 40 hari.”
Di samping itu, memanjangkan kuku termasuk bentuk tasyabbuh (meniru) kepada binatang dan orang kafir.
Syaikh alAlbani berkata, “Memakai kuteks dan memanjangkan kuku termasuk kebiasaan yang jelek, berasal dari para wanita fajir (pendosa) Eropa dan perkara ini telah melanda mayoritas wanita muslimah. Mereka mewarnai kuku dengan warna merah dan memanjangkannya. Perbuatan semacam ini dikerjakan pula oleh sebagian pemuda. Sesungguhnya perkara ini termasuk kategori mengubah ciptaan Allah yang berimbas laknat terhadap pelakunya sebagaimana yang telah engkau ketahui, dan hal ini juga termasuk tasyabbuh kepada wanita-wanita kafir yang jelasjelas terlarang sebagaimana dalam hadits-hadits yang sangat banyak.”
C. Sandal dan sepatu bertumit tinggi
Tidak boleh wanita muslimah memakai sandal atau sepatu yang bertumit tinggi karena hal ini termasuk bentuk penipuan dan menampakkan kedua kakinya. Allah berfirman:
Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orangorang jahiliah yang dahulu. (QS. al Ahzâb [33]: 33)
Abdullah bin Mas’ud a berkata, “Dahulu para lelaki dan wanita Bani Israil shalat bersama-sama. Setiap wanita mempunyai kekasih.
Para wanita memakai kaki palsu agar terlihat lebih tinggi di mata kekasihnya.”
Wanita yang memakai sandal dan sepatu bertumit tinggi terjatuh dalam beberapa pelanggaran:
Pertama: Menyerupai wanita kafir barat.
kedua: Orang yang memakainya telah melakukan penipuan.
ketiga: Menampakkan kesombongan, seolah-olah dia orang yang tinggi.
keempat: Dapat menimbulkan bahaya bagi badan, terutama kaki dan betisnya.
kelima: Menunjukkan kelemahan iman pemakainya, karena begitu cepatnya dia terima adat orang kafir.
keenam: Orang yang memakainya seakanakan tidak ridha dengan ciptaan Allah.
D. Tato di anggota badan
Ini merupakan musibah besar yang menimpa kaum muslimin. Tato tidak hanya dimonopoli kaum pria, kaum wanita pun banyak yang mempunyai tato. Ketahuilah wahai saudariku wanita muslimah, memakai tato hukumnya haram, berdasarkan dalildalil sebagai berikut:
1. Dari al-Qur'an
Dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benarbenar mereka mengubahnya. (QS. anNisâ' [4]: 119)
2. Dari al-Hadits
Abdullah bin Mas’ud berkata:
ِ“Allah melaknat wanita yang menato dan yang minta ditato, wanita yang mencukur bulu alis dan yang minta dicukur.”
Tato yang dilarang adalah yang dilakukan atas kehendaknya sendiri, bukan karena sebab pengobatan atau penyakit. Ibnu Abbas mengatakan, “Wanita yang minta ditato bukan karena penyakit.”
Dan wajib bagi yang memakai tato untuk menghilangkannya dengan pengobatan. Jika tidak mungkin menghilangkan tato kecuali dengan melukainya maka dilihat terlebih dahulu; apabila khawatir bertambah rusak, atau matinya organ tubuh yang lain atau malah menimbulkan luka baru yang lebih jelek, maka tidak wajib dihilang kan, cukup baginya bertaubat dengan taubat yang sebenarbenarnya. Akan tetapi, jika tidak ada kekhawatiran yang disebutkan di atas, maka wajib bersegera menghilangkan tatonya. Dalam masalah ini, laki-laki dan wanita hukum
nya sama.
Allahu A’lam.
Faedah: Tato buatan (imitasi) dengan stempel?
Telah muncul dewasa ini jenis lain dari tato, yaitu mencetak gambar dengan menggunakan semacam stempel tanpa melukai kulit atau menggambar sesuatu pada kulit dengan alat pewarna tanpa melukai kulit. Perbuatan semacam ini, jika tidak membahayakan kulit maka hukumnya boleh, tidak mengapa; karena bukan termasuk me ngubah ciptaan Allah.
Hukumnya lebih mirip seperti menggunakan pacar. Namun, syaratnya tidak boleh bagi seorang wanita menampakkannya kecuali kepada suaminya saja dan bukan gambar makhluk bernyawa. Sekalipun demikian, yang lebih berhati-hati, ia meninggalkan hal itu karena hal tersebut menyerupai wanita yang menato sesungguhnya. Allahu A’lam.
E. Memakai susuk
Dewasa ini banyak orang yang berlomba-lomba tampil cantik. Di antara salah satu cara untuk mempercantik diri adalah dengan memakai susuk. Ketahuilah wahai saudariku wanita muslimah, orang yang memakai susuk telah terjatuh dalam dosa besar, karena:
1. Umumnya yang memakai susuk menggunakan amalan sihir, bahkan di antara mereka ada yang sampai mempergunakan jin.
2. Tujuan dari memakai susuk adalah agar tampak cantik dan orang lain merasa takjub.
3. Orang yang memakai susuk, biasanya yakin bahwa susuknya dapat memberikan pertolongan kepadanya. Tentu ini adalah praktik kesyirikan yang nyata.
Allahu A’lam.
Label:
Kajian
Langganan:
Postingan (Atom)